Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Amirul Mukminin Umar bin Al Khattab radiyallahu ‘anhu di daerah ‘Usfan. Saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’. Lalu Umar bertanya, “Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin daerah Wadi?” Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya lagi, “Siapa Ibnu Abza itu?” Nafi’ menjawab, “Seorang bekas budak dari budak-budak kami yang telah dimerdekakan.” Umar bertanya kembali, “Engkau percayakan jabatan itu kepada seorang bekas budak?“ Nafi’ mengatakan,“Sesungguhnya dia adalah seorang Ahlul-Qur’an (yang hafal, paham, dan mengamalkannya) dan faqih dalam hal syariat.”
Umar berkata, “Sungguh Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain dengan Al-Qur`an” (Shahih Muslim)
Begitulah pandangan orang beriman terhadap al-Qur’an, ia merupakan tolok ukur kemuliaan. Al-Qur’an itu bukan bacaan biasa. Ia adalah barometer manusia itu mulia ataukah hina. Mulialah orang yag memuliakannya, dan hinalah orang yang meremehkannya.
Al-Qur’an adalah barometer baik dan buruk, pemisah antara yang benar dan yang salah, pembeda yang adil dan yang zhalim, yang mukmin dan yang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau”. (QS. at-Thariq: 13-14)
Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat
Al-Quran tidaklah seperti yang dituduhkan oleh orang-orang kafir. Bukan gurauan atau mitos sebagaimana klaim mereka. Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Di dalamnya termuat kaidah dan risalah serta ajaran yang mengajak kepada kebenaran serta konsekuensinya. Juga memuat rambu-rambu dan batas-batas yang menyelamatkan manusia dari kerugian abadi dan kesengsaraannya.
Orang-orang yang kafir sekalipun, di zaman turunnya al-Qur’an tak mampu menyembunyikan kekagumannya terhada al-Qur’an, bahkan tak mampu menemukan celah kekurangannya. Dialah Walid bin Mughirah, sang pujangga Arab, pakar dalam syair dan bahasa Arab, Ibnu Abbas mengisahkan bahwa suatu hari dia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepadanya. Sepertinya al-Quran itu melembutkan kekufuran al-Walid. Kabar ini sampai ke telinga Abu Jahal. Ia pun datang menemui al-Walid.
Abu Jahal mengatakan, “Wahai paman, sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” “Untuk apa?” tanya al-Walid. “Untukmu. Karena engkau datang menemui Muhammad yang menentang ajaran nenek moyang kita.”
Al-Walid bin al-Mughirah menanggapi, “Orang-orang Quraisy tahu, kalau aku termasuk yang paling kaya di antara mereka.”
Abu Jahal ingin memastikan bahwa al-Walid masih dipihaknya, ia berkata, “Ucapkanlah suatu perkataan yang menunjukkan kalau engkau mengingkari Al-Qur’an atau engkau membencinya.”
Al-Walid mengatakan, “Lalu apa yang harus saya katakan? Demi Allah tidak ada di antara kalian orang yang lebih memahami syair Arab daripada aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidahnya, bahkan tentang syair jin yang mengungguli diriku. Tapi apa yang diucapkan Muhammad itu berbeda dengan itu semua. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan itu serasa manis, nikmat merasuk jiwa. Bagian atasnya berbuah, sedang bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada dibawahnya.”
Related Posts
Abu Jahal terus mendesak al-Walid dan berkata, “Kaummu tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mengatakan sesuatu yang buruk tentang al-Qur’an itu.” Pintu inilah, kekhawatiran jatuh di mata kaumnya hingga ia mengingkari nurani dan pengetahuannya sendiri, hingga dia mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah sihrun yu’tsar, sihir yang dipelajari.
Allah juga menantang semua jin dan manusia dengan semua level kepandaiannya untuk yang membuat semisal al-Qur’an, dan Allah telah memvonis bahwa mereka tak akan mampu.Takkan ada yang semisal al-Qur’an, yang dijaga oleh Allah otentitasnya,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan Sesungguhnya Kami pula yang benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Bacaan mana pula yang bernilai pahala perhuruf bagi pembacanya; satu kebaikan yang dilipatkan sepuluh kali. Lantunan manakah yang lebih indah daripada al-Qur’an? Yang ketika didengar takkan membuat bosan. Bahkan popularitasnya terus viral di sepanjang zaman.
Ilmu manakah yang lebih utama dari al-Qur’an? Ia menjelaskan segala sesuatu, tibyaanan likulli syai’in. Ilmu apapun yang bertentangan dengannya pasti salah, karena al-Qur’an adalah fiman Allah yang ilmunya meliputi segala sesuatu. Tak ada kesalahan sedikitpun di dalamnya. Sementara akal manusia terbatas, penelitian tak akan mencapai final dari keseluruhan ilmu pengetahuan, meskipun estafet itu bersambung dari zaman ke zaman. Dan jika ada klimks dari sebuah penelitian tertentu, hasilnya adalah bukti kebenaran al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,
“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran.” (Q.S Fushshilat : 53)
Maka siapa yang ingin memiliki pengetahuan paling luas, hendaknya ia mempelajari al-Qur’an. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menyatakan,
“Barangsiapa yang menginginkan ilmu (yang bermanfaat), maka hendaklah ia mendalami Al-Qur`an, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang sekarang dan akan datang” (Diriwayatkan Al-Baihaqi)
Maka beruntunglah adalah yang mengambil bagian paling dari al-Qur’an; membacanya, menghafalnya, mengamalkannya, mengajarkannya dan mendakwahkannya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai ahlul Qur’an, aamiin.
Oleh: Abu Umar Abdillah/Tadabbur
Sabtu, 02 Januari 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar