Minggu, 24 Januari 2021

Memaknai Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘alamiin

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai firman Allah, “Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus ke muka bumi ini kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya: 107)

Namun, hari ini kita menemukan adanya upaya mendistorsi (tahrîf) makna rahmatan lil ‘alamin, sebagai dalih atas pemahaman sesat dan menyesatkan. Rahmatan lil ‘alamin selalu dikaitkan dengan masalah toleransi dan intoleransi, kehidupan sosial dalam bernegara, dan masalah kearifan lokal. Meskipun ada benarnya, namun masalahnya tak melulu soal itu. Jika hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal. Salah satunya muncul istilah-istilah asing yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam Islam semacam Islam fundamental, Islam Arab, Islam Nusantara, Islam radikal dan semisalnya yang disematkan kepada suatu kelompok tertentu. Akar dari semua ini karena adanya pemaknaan yang salah terhadap makna rahmatan lil ‘alamin.

Padahal jika kita telisik lebih dalam tujuannya tak lain adalah untuk menstigma negative terhadap ummat Islam yang konsisten dengan keislamannya dan mencoba menerapkan syari’at Islam secara kaafah.

MAKNA RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Para ulama mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata rahmatan lil ‘alamin dalam surat al-Anbiya’: 107. Imam Thabari menjelaskan, “Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah rahmatan lil ‘alamin diperuntukkan khusus bagi orang Islam saja atau berlaku umum bagi seluruh manusia?. Namun pendapat yang benar dalam hal ini adalah perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau mengatakan bahwa Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam baik itu yang beriman ataupun mereka yang kafir. Kepada mereka yang beriman Allah berikan kepada mereka hidayah dan untuk yang kafir Allah menunda adzab bagi mereka sebagaimana yang terjadi pada ummat-ummat terdahulu yang mereka mendustakan apa yang dibawa oleh Rasul mereka.” (Jami’ul bayan fi ta’wilil qur’an: 18/552).

Ibnu Katsir dalam tafsir al-qur’anul ‘adzim menukilkan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Rasulullah selain rahmatan lil ‘alamin juga berfungsi sebagai hadiah dari Allah, إنما أنا رحمة ومهدة (sesungguhnya aku adalah rahmat dan hadiah).

Maknanya, Allah tidak akan menurunkan langsung adzab kepada orang-orang kafir dan ingkar sebagaimana Allah turunkan adzab kepada kaum Tsamud, ‘Ad, juga sebagaimana Allah menenggelamkan Fir’aun, atau menurunkan hujan batu pada kaum Nabi Luth. Tapi Allah akan menunda adzab itu selama masih ada yang mengamalkan syari’at Nabi Muhammad sampai hari kiamat. Itulah makna rahmatan lil’alamin bagi orang-orang kafir.

KANDUNGAN SYARI’AT ADALAH MASLAHAT

Inti syari’at Islam adalah maslahat, sebagaimana yang dikatakan oleh  Ibnu ‘Asyur, “Maksud umum dari syari’at secara global maupun terperinci adalah menjaga tata aturan dan keberlangsungan maslahat yang menjadi bagian dari manusia baik dari sisi akal atau amalnya, atau apa yang ada dikedua tangannya dengan perantara orang-orang alim yang hidup dizamannya.” (Maqashid as-syari’ah al-Islamiyah, hal: 148)

Maslahat adalah salah satu cara untuk melihat bentuk rahmatan lil ‘alamin dari sisi kandungannya. Menurut Imam asy-Syatibi, maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam terbagi menjadi tiga berdasarkan tingkatannya, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dharuriyat adalah kebutuhan yang jika tidak dipenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam. Hajiyat adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam keselamatan manusia tapi akan menyusahkannnya. Keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan bagi seorang mukallaf. Sedangkan tahsiniyat adalah semua keperluan dan perlindungan untuk membuat manusia lebih nyaman dan terlindungi (al-muwafaqat, 2/17)

Dari tiga klasifikasi maslahat tersebut, pembahasan tentang dharuriyatlah yang menjadi inti dari maslahat. Ada lima point penting kandungan dharuriyat. Para ulama menyebutnya dharuriyat al-Khamsah atau al-Kulliyat al-khamsah. Lima hal itu adalah: hifdz ad-ddin (penjagaan terhadap agama), hifdz an-nafs (penjagaan teradap jiwa), hifdz an-nasl (penjagaan terhadap keturunan), dan hifdz al-‘aql (penjagaan terhadap akal), hifdz al-maal (penjagaan terhadap harta). Kandungan inilah yang menjadi pondasi bangunan maslahat dalam syari’at Islam. Namun hal ini menjadi tak bermakna ketika berhenti pada tataran teori tanpa aplikasi. Adapun aplikasinya terbagi menjadi dua sisi: jihat al-wujud (sisi keharusan untuk mewujudkannya) dan jihat al-‘adam (sisi keharusan untuk menghilangkannya).
Related Posts


Hifdz ad-addin dilihat dari keharusan untuk mewujudkannya (jihat al-wujud) seperti perintah untuk beriman kepada Allah, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui nama-nama dan sifat-Nya. Kemudian kewajiban untuk berpegang teguh kepada Islam, mempelajari serta mendakwahkannya. Sedangkan dari sisi harus meniadakannya (jihat al-‘adam), ada perintah untuk berhati-hati terdahap perkara riya’, perintah untuk menjauhi bid’ah dan memerangi para pelakunya, perintah untuk memerangi orang-orang murtad. Masalah ini berkaitan erat dengan perkara-perkara yang bersidat I’tiqadiyah (keyakinan).

Hifdz an-nafs dilihat dari jihat al-wujud, aplikasinya seperti kebolehan untuk memakan hal-hal yang diharamkan dalam keadaan darurat dan perintah untuk mencari nafkah. Dari jihat al-‘adam  haramnya membunuh jiwa yang tidak bersalah dan kewajiban untuk melakukan qishash.

Hifdz al-‘aql dilihat dari jihat al-wujud adanya perintah syari’at untuk mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah, sebab akal tidak bisa membedakan antara baik dan buruk kecuali atas bimbingan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sedangkan dari jihat al-‘adam keharaman berjudi, nyanyian, melihat hal-hal yang diharamkan, keharaman khamer, ganja, dan jenis-jenis narkoba lainnya

Hifdz an-nasl dilihat dari jihat al-wujud adanya anjuran untuk menikah, keharusan adanya saksi dalam pernikahan, perintah untuk menafkahi keluarga. Sedangkan dari jihat al-‘adam adanya larangan untuk berzina dan adanya ketetapan hukum syari’at bagi bagi pezina, larangan untuk mencerai istri kecuali dalam keadaan darurat, keharaman menyingkap aurat dan memandang yang bukan mahram, haramnya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, serta keharaman meremehkan pendidikan anak.

Yang terakhir adalah hifdz al-maal, dilihat dari jihat al-wujud kewajiban untuk bekerja dan berusaha, kewajiban untuk menjaga harta yang menjadi tanggungan, anjuran untuk bershadaqah, kebolehan jual beli dan berhutang. Dari jihat al-‘adam haramnya merampas harta, mencuri dan adanya ketetapan hukuman bagi pencuri, perintah mempertahankan harta benda jika dirampas, haramnya merusak harta dan menghilangkan harta milik orang lain tanpa sebab (Diringkas dari: Maqashid as-Syari’ah ‘inda Ibn at-Taimiyyah: 445-487)

Inilah maslahat universal yang dikehendaki oleh syari’at. Jika semua maslahat itu terwujud secara sempurna maka Islam akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Letak rahmatan lil ‘alaiminnya pada  maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam yang bukan hanya diakui oleh agama Islam saja, tetapi oleh semua agama. (al-muwafaqat,1/31).

Dalam tataran praktek dalam mewujudkan semua maslahat di atas, semua maslahat tersebut harus terakomodir oleh sistem yang berasal dari Islam. Ia tidak akan sempurna ketika diatur oleh sistem kufur. Dalam sistem kufur akan banyak maslahat yang hilang karena tidak bisa diterapkan. Padahal Allah tak menghendaki yang demikian. Perintah Allah jelas untuk totalitas dalam berislam:

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kedalam Islam secara sempurna dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208).

Maka rahmatan lil ‘alamin, bukan melulu bicara soal toleransi dan intoleransi; soal kehidupan antar agama dalam bernegara; atau soal kearifan lokal, tapi mencakup seluruh syari’at secara global dan terperinci. Ia akan terwujud ketika syari’at Islam dilaksanakan secara sempurna dibawah payung sistem Islam yang bernama khilafah a’la minhaj an-nubuwah. Wallahu a’lam 


Rabu, 06 Januari 2021

Syafaat Seorang Sahabat

 Jika ada orang dekat selain keluarga, maka ia adalah sahabat. Hampir setiap orang, atau bahkan semua orang mengharapkan hadirnya sahabat.  Yakni teman yang setia dalam suka dan duka, menghibur di saat sedih, membantu saat dibutuhkan dan partner yang asyik untuk merayakan sebuah kesenangan. Bersahabat adalah tabiat, maka jika seseorang tidak bersahabat dengan orang-orang yang taat, besar kemungkinan ia akan bersahabat dengan ahli maksiat, karena “al arwah, junuudun mujannadah”, seseorang cenderung bergabung dengan orang yang setipe dengannya.





Arti Seorang Sahabat

Karena itu orang beriman memiliki pandangan lebih terkait sahabat. Tak melulu soal akrab dan dekat. Apalah arti sahabat akrab yang mengenyam suka duka bersama di dunia, namun nantinya menjadi musuh satu sama lain di akhirat, sebagaimana keadaan yang dikabarkan oleh Allah dalam firman-Nya,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (Az Zukhruf: 67)

Seorang mukmin memandang bahwa persahabatan yang manfaat adalah sahabat yang terikat oleh iman, pergaulan yang terjadi demi takwa yang makin menguat dan agar lebih mudah merealisasikan taat. Inilah yang disebut dengan persaudaraan iman, meski tak ada hubungan nasab di antara mereka. Bahkan sejatinya, persaudaraan iman lebih manfaat dan lebih langgeng dari persaudaraan karena hubungan nasab yang tidak dibingkai oleh iman.

Orang-orang yang memiliki hubungan nasab, ketika di dunia saling mengasihi, saling membela dan terjalin hubungan yang harmonis, bisa jadi di akhirat kelak masing-masing akan saling cuek dan tidak memikirkan satu sama lain. Mereka akan saling berlepas diri sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

“Apabila datang hari Kiamat, Allah mengumpulkan manusia-manusia generasi awal hingga yang paling akhir, lalu ada seruan, “Siapa yang pernah dizhalimi silakakan mendatangi orang yang menzhalimi utuk mengambil haknya.  Lalu seseornag merasa gembira ketika masih ada hak yang belum ditunaikan oleh orang tuanya, anaknya, istrinya mau dia menuntutnya meski sekecil apapun, hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

“Apabila telah ditiup  sangkakala itu, samasekali tak ada hubungan keturunan di antara mereka lagi ketika itu, dan tidak pula akan sempat tanya bertanya.” (QS al-Mukminun 101)

Adapun sahabat, ketika terjalin hubungan dan keakraban dalam rangka taat kepada Allah, faidahnya bisa dirasakan hingga hari Kiamat.


Jenis amal berupa saling mencintai karena Allah sendiri memiliki keutamaan agung. Di mana Allah akan menaungi mereka di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yakni di makhsyar yang sangat panas oleh terik matahari yang didekatkan di atas kepala manusia dengan jarak satu mil saja.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,



“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat kelak, “Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, di mana tidak ada naungan pada hari ini selain naungan-Ku.” (HR Muslim)

Orang yang saling mencintai karena Allah juga menempati derajat yang tinggi di jannah. Tidak tanggung-tanggung, para Nabi dan para syuhada’ bahkan takjub dengan keadaan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang-orang yang meskipun bukan golongan para nabi, namun para nabi dan juga para syuhada takjub dengan keadaan mereka. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah, agar kami bisa mencintai mereka. Beliau bersabda,


“Mereka adalah orang saling mencintai karena Allah, meski tak ada hubungan rahim maupun nasab. Wajah-wajah mereka bercahaya, berada di mimbar-mimbar yang bercahaya, mereka tidak takut pada saat orang-orang ketakutan dan ereka tidaklah bersedih di saat orang-orang bersedih.” (HR Ibnu Hibban dengan sanad yang bagus)

 
Syafaat di Hari Kiamat

Tidak hanya jenis amalnya yang memiliki keutamaan, bahkan seorang teman ataupun sahabat, sebagaimana di dunia saling menolong dalam taat, saling cegah dalam hal maksiat, maka kelak seorang sahabat bisa memberikan syafaat di akhirat. Karena itulah Imam Hasan al-Bashri menasehatkan, ”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka bisa memberi syafaat (pertolongan) pada hari klamat.”

Dalam sebuah momen,  Ibnul al-Jauzi juga pernah berkata kepada para sahabat dan murid-muridnya, ”Jika kalian kelak tidak menemukan aku di surga bersama kalian, maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah. Ucapkan, “Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk mengingat Engkau.” Lalu beliau menangis, semoga Allah merahmati beliau.

Tentang syafaat seorang sahabat ini, Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits yang panjang, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda tentang syafaat di hari kiamat,

Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah  untuk  memperjuangkan hak saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon, “Wahai Rabb kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji. Lalu dikatakanm, “Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Orang-orang mukmin itupun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.” (HR Muslim)

Jika ada pertanyaaan, tidakkah hadits ini bertentangan dengan firman Allah,

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39)

Jawabannya adalah tidak. Karena ketika seseorang beramal dalam bentuk saling mencintai dan bersahabat karena Allah, maka di antara hasilnya adalah ia berhak mendapatkan syafaat dari sahabatnya.

Sahabat yang bermanfaat bukanlah orang yang selalu membuat kita senang, bukan pula orang yang mendukung apapun yang kita putuskan. Akan tetapi sahabat yang baik adalah yang mau mengingatkan saat kita alpha, yang membantu kita untuk taat kepada Pencipta, mencegah kita dari perbuatan nista, dan bersedia tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.

Bayangkan, betapa beruntungnya dan bahagianya seseorang yang memiliki banyak teman orang-orang sholih. Yang mengingatkan untuk shalat berjamaah di masjid, mengajari tilawah Al-Qur’an, mengajak menghadiri majelis ilmu, dan menasehatinya dalam kebaikan.

Jika kita mendapatkan teman semisal ini, maka pertahankanlah ia, dan janga sampai lepas dari kita. Sebagaimana nasihat Imam asy-Syafi’I, “Jika engkau punya sahabat membantumu untuk taat, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskan ia. Alangkah susahnya mencari teman yang baik, dan betapa mudah lepasnya.”

Pun demikian, seshalih apapun seorang sahabat, pasti memiliki kekurangan, sebagaimana diri kita juga memiliki kekurangan. Jangan sampai kekhilafan dan sedikit cela menyebabkan kita menjauhi sahabat, karena tidak ada manusia yang tanpa cela. Alangkah indahnya nasihat Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Barangsiapa mencari teman yang tanpa cela, niscaya ia akan hidup sendiri tanpa teman.”
Persahabatan itu butuh untuk saling menasehati, menjaga adab yang menjadi sebab kelanggengan dan mudah memaafkan demi kelangsungan sebuah persaudaraan. Jangan berpikir akan mendapatkan seorang teman yang tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Jangan pula mudah terhasut oleh desas desus orang yang membuat retak persaudaraan. Abu Qilabah rahimahullah berkata,

“Jika sampai kepadamu suatu berita yang tidak suka dari saudaramu, maka carikanlah udzur/alasan, jika engkau tidak mendapatkan udzur/alasan untuknya, maka katakanlah, mungkin saja dia memiliki alasan yang aku tidak ketahui.” Sedangkan maksud mencarikan alasan adalah berprasangka baik dengan mengedepankan kemungkinan positif. Semoga Allah memperbanyak sahabat yang membantu kita untuk taat, dan kelak menjadi syafaat pada hari Kiamat, aamiin. (Abu Umar Abdillah)






Sabtu, 02 Januari 2021

Al Qur'an, Bukan Bacaan Biasa

 Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Amirul Mukminin Umar bin Al Khattab radiyallahu ‘anhu  di daerah ‘Usfan. Saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’. Lalu Umar bertanya, “Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin daerah Wadi?” Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya lagi, “Siapa Ibnu Abza itu?” Nafi’ menjawab, “Seorang bekas budak dari budak-budak kami yang telah dimerdekakan.” Umar bertanya kembali, “Engkau percayakan jabatan itu kepada seorang bekas budak?“ Nafi’ mengatakan,“Sesungguhnya dia adalah seorang Ahlul-Qur’an (yang hafal, paham, dan mengamalkannya) dan faqih dalam hal syariat.”

Umar berkata, “Sungguh Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain dengan Al-Qur`an” (Shahih Muslim)

Begitulah pandangan orang beriman terhadap al-Qur’an, ia merupakan tolok ukur kemuliaan. Al-Qur’an itu bukan bacaan biasa. Ia adalah barometer manusia itu mulia ataukah hina. Mulialah orang yag memuliakannya, dan hinalah orang yang meremehkannya.

Al-Qur’an adalah barometer baik dan buruk, pemisah antara yang benar dan yang salah, pembeda yang adil dan yang zhalim, yang mukmin dan yang kafir. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau”. (QS. at-Thariq: 13-14)
Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Al-Quran tidaklah seperti yang dituduhkan oleh orang-orang kafir. Bukan gurauan atau mitos sebagaimana klaim mereka. Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Di dalamnya termuat kaidah dan risalah serta ajaran yang mengajak kepada kebenaran serta konsekuensinya. Juga memuat rambu-rambu dan batas-batas yang menyelamatkan manusia dari kerugian abadi dan kesengsaraannya.

Orang-orang yang kafir sekalipun, di zaman turunnya al-Qur’an tak mampu menyembunyikan kekagumannya terhada al-Qur’an, bahkan tak mampu menemukan celah kekurangannya. Dialah Walid bin Mughirah, sang pujangga Arab, pakar dalam syair dan bahasa Arab, Ibnu Abbas mengisahkan bahwa suatu hari dia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepadanya. Sepertinya al-Quran itu melembutkan kekufuran al-Walid. Kabar ini sampai ke telinga Abu Jahal. Ia pun datang menemui al-Walid.

Abu Jahal mengatakan, “Wahai paman, sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” “Untuk apa?” tanya al-Walid. “Untukmu. Karena engkau datang menemui Muhammad yang menentang ajaran nenek moyang kita.”

Al-Walid bin al-Mughirah menanggapi, “Orang-orang Quraisy tahu, kalau aku termasuk yang paling kaya di antara mereka.”

Abu Jahal ingin memastikan bahwa al-Walid masih dipihaknya, ia berkata, “Ucapkanlah suatu perkataan yang menunjukkan kalau engkau mengingkari Al-Qur’an atau engkau membencinya.”

Al-Walid mengatakan, “Lalu apa yang harus saya katakan? Demi Allah tidak ada di antara kalian orang yang lebih memahami syair Arab daripada aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidahnya, bahkan tentang syair jin yang mengungguli diriku. Tapi apa yang diucapkan Muhammad itu berbeda dengan itu semua. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan itu serasa manis, nikmat merasuk jiwa. Bagian atasnya berbuah, sedang bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada dibawahnya.”
Related Posts


Abu Jahal terus mendesak al-Walid dan berkata, “Kaummu tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mengatakan sesuatu yang buruk tentang al-Qur’an itu.” Pintu inilah, kekhawatiran jatuh di mata kaumnya hingga ia mengingkari nurani dan pengetahuannya sendiri, hingga dia mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah sihrun yu’tsar, sihir yang dipelajari.

Allah juga menantang semua jin dan  manusia dengan semua level kepandaiannya untuk yang membuat semisal al-Qur’an, dan Allah telah memvonis bahwa mereka tak akan mampu.Takkan ada yang semisal al-Qur’an, yang dijaga oleh Allah otentitasnya,

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan Sesungguhnya Kami pula yang benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)

Bacaan mana pula yang bernilai pahala perhuruf bagi pembacanya; satu kebaikan yang dilipatkan sepuluh kali. Lantunan manakah yang lebih indah daripada al-Qur’an? Yang ketika didengar takkan membuat bosan. Bahkan popularitasnya terus viral di sepanjang zaman.

Ilmu manakah yang lebih utama dari al-Qur’an? Ia menjelaskan segala sesuatu, tibyaanan likulli syai’in. Ilmu apapun yang bertentangan dengannya pasti salah, karena al-Qur’an adalah fiman Allah yang ilmunya meliputi segala sesuatu. Tak ada kesalahan sedikitpun di dalamnya. Sementara akal manusia terbatas, penelitian tak akan mencapai final dari keseluruhan ilmu pengetahuan, meskipun estafet itu bersambung dari zaman ke zaman. Dan jika ada klimks dari sebuah penelitian tertentu, hasilnya adalah bukti kebenaran al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran.” (Q.S Fushshilat : 53)

Maka siapa yang ingin memiliki pengetahuan paling luas, hendaknya ia mempelajari al-Qur’an. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menyatakan,

 

“Barangsiapa yang menginginkan ilmu (yang bermanfaat), maka hendaklah ia mendalami Al-Qur`an, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang sekarang dan akan datang” (Diriwayatkan Al-Baihaqi)

Maka beruntunglah adalah yang mengambil bagian paling dari al-Qur’an; membacanya,  menghafalnya, mengamalkannya, mengajarkannya dan mendakwahkannya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai ahlul Qur’an, aamiin.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Tadabbur