Sabtu, 27 Mei 2006 adalah hari yang selalu diingat masyarakat Bantul maupun Yogyakarta dan sekitarnya.
Waktu saat itu menunjukan jarum di angka 5 lebih 55an menit. Tiba tiba terdengar suara gemeretak atap rumah yang masih terbuat dari bambu. Semakin kencang dengan durasi cukup lama.
Sedikit saya tuangkan lewat tulisan ini, sebagai refleksi atas kejadian yang begitu memilukan.
Jam 06.00 kurang sedikit. Aku berada di meja kerja membuat kwitansi penagihan iklan pemasang di Harian Kedaulatan Rakyat Jogja. Anakku saat itu berumur 6 tahun, santai berada di depan televisi sementara istri berada di sumur mencuci pakaian. Bapakku berada di kandang ayam dengan radius 100m dari rumah.
Sebelum terjadi goncangan hebat, terdengar sebelumnya sebuah suara seperti ledakan dinamit. Duar! saya berpikir saat itu Merapi meletus, karena sedang terjadi erupsi dengan lahar merah terlihat ketika malam hari.
Setelah bunyi cukup keras disusul goncangan yang sangat keras yang aku alami selama hidupku. Tidak seperti gempa gempa sebelumnya yang hanya kecil dan terus menyusut tidak terasa.
Reflek, segera aku berlari keluar rumah menuju halaman. Anak yang santai di depat televisi aku tinggal. Sampai di halaman, tanah seperti tidak mau diinjak. Sekali dua kali aku terjatuh ketika menginjak tanah. sampai luka di kaki tidak begitu parah kena penutup cor WC.
Tak lama kemudian anakku keluar dengan menangis sambil digandeng ibunya.
"Mrene...mrene..." mereka aku ajak di tengah jalan kampung saling berpegangan.
Ketika berada di tengah jalan kampung. Terlihat oleh mataku, tembok dapur tetangga rubuh berhamburan, batu bata seperti beterbangan ke bawah. Atap tetangga di belakang rumah runtuh. Debu debu beterbangan seperti kabut di pagi hari. Untuk beberapa saat mencapai klimak.
Satu persatu bangunan rumah runtuh, sementara rumahku hanya bagian pojok yang bolong sedikit.
Setelah situasi agak mereda. Anak berhenti menangis, keluarga berkumpul dengan tetangga. Aku ambil kamera. berkeliling kampung melihat situasi rumah rumah tetangga dua RT. Beberapa moment rumah roboh tinggal sebagian. Masjid genteng melorot dan banyak foto aku peroleh saat itu. (sayang sudah hilang sekarang).
Rasa keingintahuanku keadaan sekitar kota Bantul mendorong aku keluarkan motor bututku. Keluarga aku tinggal di rumah. Tempat yang aku datangi adalah di PKU Bantul sepanjang Jalan Sudirman dan ke RSUD Panembahan Senopati.
Di sepanjang jalan dekat RSUD terlihat orang orang penuh luka. Sebagian sudah meninggal dengan ditutup lembaran kain. Aku masih belum bisa percaya, dengan kejadian yang sedemikian cepat membawa korban yang cukup banyak.
Kurasa sudah cukup berkeliling, aku pulang melewati perempatan Gose. Temanku SMP yang jadi polisi berada di situ mengatur arus lalu lintas. Diwajahnya terlihat raut muka yang panik dan ketakutan.
Sampai di kampung tempat tinggal, suasana kog sepi. Hanya satu dua orang terlihat berseliweran. Kampung yang benar benar sepi. Pada kemana ini orang orang.Batinku. Hingga bertemu dengan seorang tetangga.
"Kog sepi do nandi yo?" Tanyaku.
"Ngungsi....Banyu wis tekan Gose..." Jawab tetanggaku.
"Hah...Gose? " Aku mau lewat kono, raono opo opo." Kubalas ketakutannya.
Tapi orang orang sudah pergi diliputi rasa cemas khawatir dan takut. Sebagian berlarian ada yang memakai sepeda dan motor. Ada yang berlari menuju bukit Mijil di pojok Desa Bantul. ada juga yang di Bukit mbuthak di sebelahnya. Sebagian malah sudah melarikan diri sampai ke Kasongan.
Suasana seperti perang. Hiruk pikuk tidak karuan. Isyu menyebar tanpa ada data dan fakta membikin masyarakat tambah panik. Begitu hari pertama yang kami alami pas gempa 27 Mei 2006.
Beberapa hari setelah kejadian, aku menyambangi beberapa tempat yang terkena dampak gempa. Silakan ditunggu tulisan selanjutnya...
Waktu itu anda dimana???
Waktu saat itu menunjukan jarum di angka 5 lebih 55an menit. Tiba tiba terdengar suara gemeretak atap rumah yang masih terbuat dari bambu. Semakin kencang dengan durasi cukup lama.
Sedikit saya tuangkan lewat tulisan ini, sebagai refleksi atas kejadian yang begitu memilukan.
Kampus STIE Kerjasama di Jalan Parangtritis Km 3 Yogyakarta. |
Sebelum terjadi goncangan hebat, terdengar sebelumnya sebuah suara seperti ledakan dinamit. Duar! saya berpikir saat itu Merapi meletus, karena sedang terjadi erupsi dengan lahar merah terlihat ketika malam hari.
Setelah bunyi cukup keras disusul goncangan yang sangat keras yang aku alami selama hidupku. Tidak seperti gempa gempa sebelumnya yang hanya kecil dan terus menyusut tidak terasa.
Reflek, segera aku berlari keluar rumah menuju halaman. Anak yang santai di depat televisi aku tinggal. Sampai di halaman, tanah seperti tidak mau diinjak. Sekali dua kali aku terjatuh ketika menginjak tanah. sampai luka di kaki tidak begitu parah kena penutup cor WC.
Tak lama kemudian anakku keluar dengan menangis sambil digandeng ibunya.
"Mrene...mrene..." mereka aku ajak di tengah jalan kampung saling berpegangan.
Ketika berada di tengah jalan kampung. Terlihat oleh mataku, tembok dapur tetangga rubuh berhamburan, batu bata seperti beterbangan ke bawah. Atap tetangga di belakang rumah runtuh. Debu debu beterbangan seperti kabut di pagi hari. Untuk beberapa saat mencapai klimak.
Satu persatu bangunan rumah runtuh, sementara rumahku hanya bagian pojok yang bolong sedikit.
Setelah situasi agak mereda. Anak berhenti menangis, keluarga berkumpul dengan tetangga. Aku ambil kamera. berkeliling kampung melihat situasi rumah rumah tetangga dua RT. Beberapa moment rumah roboh tinggal sebagian. Masjid genteng melorot dan banyak foto aku peroleh saat itu. (sayang sudah hilang sekarang).
Rasa keingintahuanku keadaan sekitar kota Bantul mendorong aku keluarkan motor bututku. Keluarga aku tinggal di rumah. Tempat yang aku datangi adalah di PKU Bantul sepanjang Jalan Sudirman dan ke RSUD Panembahan Senopati.
Di sepanjang jalan dekat RSUD terlihat orang orang penuh luka. Sebagian sudah meninggal dengan ditutup lembaran kain. Aku masih belum bisa percaya, dengan kejadian yang sedemikian cepat membawa korban yang cukup banyak.
Kurasa sudah cukup berkeliling, aku pulang melewati perempatan Gose. Temanku SMP yang jadi polisi berada di situ mengatur arus lalu lintas. Diwajahnya terlihat raut muka yang panik dan ketakutan.
Sampai di kampung tempat tinggal, suasana kog sepi. Hanya satu dua orang terlihat berseliweran. Kampung yang benar benar sepi. Pada kemana ini orang orang.Batinku. Hingga bertemu dengan seorang tetangga.
"Kog sepi do nandi yo?" Tanyaku.
"Ngungsi....Banyu wis tekan Gose..." Jawab tetanggaku.
"Hah...Gose? " Aku mau lewat kono, raono opo opo." Kubalas ketakutannya.
Tapi orang orang sudah pergi diliputi rasa cemas khawatir dan takut. Sebagian berlarian ada yang memakai sepeda dan motor. Ada yang berlari menuju bukit Mijil di pojok Desa Bantul. ada juga yang di Bukit mbuthak di sebelahnya. Sebagian malah sudah melarikan diri sampai ke Kasongan.
Suasana seperti perang. Hiruk pikuk tidak karuan. Isyu menyebar tanpa ada data dan fakta membikin masyarakat tambah panik. Begitu hari pertama yang kami alami pas gempa 27 Mei 2006.
Beberapa hari setelah kejadian, aku menyambangi beberapa tempat yang terkena dampak gempa. Silakan ditunggu tulisan selanjutnya...
Waktu itu anda dimana???